Kamis, 05 November 2015

Syair Maulana Rumi - Ratapan Malam Seorang Fir'aun

Kitab Mastnawi
rumi ratapan malam seorang firaun

Dalam Kitab Mastnawi, karya fenomenal Syaikh Maulana Jalaluddin Rumi ada di kisahkan tentang Fir'aun yang secara diam-diam mengakui keesaan Allah, Menangis dan meratapi dirinya di malam sunyi, berdo'a secara diam-diam kepada Allah, mengakui kelemahan dan kekeliruannya.

Kitab Mastnawi adalah karya terbaik Maulana Jalaluddin Rumi, Seorang mahaguru sufi, pendiri Tarekat Maulawiyah, pencipta tarian sufi yang berputar-putar ( Wirling Dervish Dance ), seorang penyair, yang syair-syairnya masih bertahan dan diburu hingga sekarang dan belum ada duanya hingga saat ini.

Didalam syair-syair dalam kitab Mastnawi tersimpan rahasia-rahasia yang teramat dalam bagi para " pencari " yang haus dan merindukan pertemuan dengan Sang Kekasih.

Kami akan menuliskan sedikit penggalan dari terjemahaan Kitab Mastnawi Al- Maknawi dari bab yang berjudul " Darwis Miskin dan Istrinya " dengan sub judul " Ratapan Malam Seorang Fir'aun "


" Ratapan Malam Seorang Fir'aun " 

Musa dan Firaun sama-sama mahkluk Tuhan yang hendak menggapai hakikat. Tetapi secara lahiriah, Musa mengetahui jalan yang harus ditempuhnya. Sedangkan Fir'aun terjebak di jalan sesat. Diwaktu siang Musa senantiasa patuh pada Tuhannya. Dan ketika malam, Fir'aun menangis disela suara burung hantu.

" Duh, Gusti. Belenggu apakah yang menekan punggungku? Kalau memang tidak ada belenggu di leherku, pada siapa manusia akan memebri gelar Fir'aun yang tiran? kau jadikan Musa diterangi cahaya benderang, sementara kegelapan yang buram kau berikan kepadaku. kau jadikan Musa sebagai rembulan purnama, dan rembulan jiwaku berwarna hitam. Matahariku lebih suram dibanding bulan saat gerhana. lalu apa dayaku?

Kehadiranku disambut bunyi bedug bertalu-talu sebagai seorang dewa dan penguasa. Tidak ada bedanya dengan perkakas dapur yang dipukul sewaktu gerhana bulan, untuk menakut-nakuti Batara Kala agar membatalkan niatnya menelan rembulan. Orang-orang memukul lesung beramai-ramai, mengutuk kelam diparas rembulan dengan jeritan yang memilukan hati. Meskipun aku seorang Fir'aun, aku tetap makhluk-Mu. Sungguh celaka diriku. Aku menganggap manusia menabuh genderang untuk menunjukan kebesaran dan keagunganku. Padahal itu pertanda kekuasaanku hanya sementara. Mereka sebenarnya ingin mengusir gerhana. mengusir diriku.

Kami berdua adalah pelayan-Mu. kapak-mu menebang dahan-dahan hijau di hutan-Mu sendiri. Yang sepotong kau tumbuhkan akar kuat dan yang lain Kau biarkan tercecer. Sebatang dahan tak berdaya dan tidak bisa mengelak dari tebasan kapak-Mu. kami hanya pasrah pada takdir berwujud kapak yang berhak meluruskan bengkoknya amal perbuatan.

lalu Fir'aun bergumam pada dirinya " Aneh. mengapa kuhabiskan malamku dengan do'a kepada Allah? Dengan sembunyi-sembunyi akau tawadhu', lalu bagaimana aku berubah menentang-Mu saat berhadapan dengan Musa? Emas saja akan membuktikan keasliannya setelah ditempa puluhan kali, lau bagaimana seorang makhluk sepertiku tetap mengenakan topeng saat dibakar api rindu kepada-Mu? Bukankah begitu, suratan takdir yang harus ku jalani?

Maulana Rumi yang lain:

Jadilah peran dalam suatu perjuangan umat dan jangan hanya jadi penonton, sungguh rugi diakhirnya nanti.