Senin, 04 April 2016

Imam As-Subki Menyanggah Salafi Wahabi Dalam Memahami Bid'ah

Sebuah Pembahasan Yang Membuat Cedera Pendapat Salafi Wahabi
menyanggah wahabi dalam memahami bidah


Muqaddimah:
Kitab Lubbul Ushul karya Syaikhul Islam Zakaria Al Anshori adalah sebuah kitab ringkasan dari kitab Jam'ul Jawami karya imam As-Subki, yang mana didalam kitab ini terkumpul beberapa ushul, ushul fiqh, ushul tasawuf dan ushuluddin (tauhid), dan Imam Assubki ini beliau mengarang kitab Jam'ul Jawami' menukil dari puluhan bahkan ratusan kitab-kitab usul fiqh yang beredar didunia dari berbagai mazhab, beliau rangkum, beliau talfiq, beliau susun hingga menjadi sebuah kitab yang kecil, tapi isinya padat dan menyesuai semua kitab-kitab usul fiqh yang ada.

Didalam kitab ini terdapat sebuah bab yang menjadi momok menakutkan dikalangan para mujtahid, yaitu bab "QAWADIH" kritikan, pencedraan, penolakan, penyanggahan, serta pertanyaan-pertanyaan yang membuat pengqiyasan seorang mujtahid menjadi batal dan pada akhirnya qiyas yang dilakukan oleh seorang mujtahid menjadi qiyas fasid (rusak) tak bisa dipakai.

Diantara qawadih dalam illat,ada yang namanya "NAQDHU".
Naqdhu ini menurut istilah bermakna "illat nya ada dalam sebuah objek bahasan, tapi hukumnya tidak ada di objek itu". Ini adalah sebuah qawadih dalam pembahasan qiyas, yang mana bila dia ada didalam pengqiyasan, maka akan mengakibatkan qiyasnya batal, tidak sahih lagi.

Sebelum kita masuk ke contoh,perlu dulu kita ketahui bahwa "BID'AH" dikalangan Wahabi, mereka menganggapnya adalah sebuah "hukum", jadi mungkin dikalangan mereka ( Wahabi ) hukum itu ada 6,yaitu:
wajib, sunnah, makruh, haram, mubah dan bid'ah.

Kalau dikalangan kita ( Ahlussunnah Wal Jamaah ) "BID'AH" itu bukan lah sebuah hukum, tapi sebuah sifat yang mengiringi hukum yang 5 diatas tadi, sebagaimana yang sudah dipaparkan oleh sultonul ulama Ibnu Abd Salam.

Bila bid'ah itu terarah kepada yang wajib, maka jadilah hukumnya itu "BID'AH YANG WAJIB".

Bila terarah kepada yang sunat, maka itu namanya "BID'AH YANG SUNAT".

Begitu lah seterusnya sampai ada yang namanya bid'ah yang mubah,bid'ah yang makruh hingga bid'ah yang haram.

Bila BID'AH itu hasanah (baik) maka masuk dalam ranah hukum wajib dan sunat.

Bila BID'AH itu hal kedunia'an,maka masuk dalam ranah hukum mubah,bisa jadi hukum makruh juga ada disini.

Bila BID'AH itu sayyi-ah (jahat), maka masuk dalam ranah hukum haram.
Jadi kepercayaan yang kita (para aswaja) anut disini adalah "BID'AH" bukanlah hukum, tapi sebuah sifat yang mengiringi hukum.


Beda halnya dengan penganut faham Wahabi, mereka menganggap "BID'AH" adalah sebuah hukum yang berakhir pada kesesatan, ini adalah faham yg salah, faham yang aneh, faham yang menyalahi ijma, patut kita tolak.

Kita ke contoh:
Seorang mustadil (kita anggap saja mustadil ini beraliran Wahabi) dia mengklaim bahwa tahlilan, haulan, maulidan adalah hukumnya "BID'AH" yang mana bila dikalangan mereka kata-kata "BID'AH" ini spontan di fahami dengan fahaman yang negatif, yaitu kesesatan, menyalahi sunnah (dalam keadaan mereka tak mau tau apa saja sebenarnya isi dari amal-amal yang mereka vonis bid'ah itu td), pokoknya mereka memvonis amalan tahlilan, haulan dan maulidan adalah bid'ah secara mutlak (sama ada didalamnya ada kebaikan atau tidak ada kebaikan) pada akhirnya dengan lewat tuduhan ini mereka bisa menyesatkan tahlilan maulidan dsb.

Diketika ini datang si Mu'taridh (atau si penyanggah pendapat si mustadil tadi, kita sebut saja disini aswaja), si Mu'taridh ini datang menyanggah penghukuman yang dibuat oleh si Wahabi tadi dgn memakai metode Qawadih illat,yang dia pakai disini adalah annaqdhu atau bisa diartikan seperti ini "dalam objek lain, hukumnya tidak ada, tapi illatnya ada" lalu si mu'taridh ini dia menggunakan kasus lain untuk membentur dalil yang dikemukakan mustadil (wahabi) tadi. Kata mu'taridh (aswaja): kamu mengatakan bahwa tahlilan, maulidan, haulan itu adalah hukumnya "bid'ah" yang sesat,
(disini hukum telah ada yaitu "bid'ahnya maulidan, tahlilan, haulan" dengan illat bid'ah itu sendiri/dalam arti tidak pernah dikerjakan dizaman rasul).

Kata Mu'taridh (aswaja) lagi: lalu bagaimana dengan hukum pembuatan sekolah universitas Islam yang terletak di Mekkah atau Madinah seperti Universitas Ummul Qura yg disana pusat pendidikan Wahabi, atau universitas LIPIA yang juga universitas Wahabi di Jakarta sana?
Ini kan 'illat nya ada yaitu "tidak pernah dikerjakan oleh rasulullah" pernah nggak terdengar ditelinga kita bahwa rasulullah membangun sebuah lembaga universitas kuliahan sampai s2,s3,,s4 s5,,(kaya hp samsung galaxy aja ya,hahaha).

Tapi "HUKUM" kebid'ahannya tidak ada disini (menurut pendapat mereka para Wahabi)
padahal menurut kita para aswaja (ini sebenarnya bid'ah juga).

Lalu ketika hukum kebid'ahan mauli dan, tahlilan, haulan dengan illat "tidak pernah dikerjakan nabi" kita benturkan dengan kasus lain, yaitu pembangunan universitas LIPIA atau Ummul Qura, yang mana disini sama-sama "tidak pernah dikerjakan nabi" (cuma mereka mengatakan ini bukanlah bid'ah) kan aneh...

Akhirnya kita perlu pertanyakan apakah betul illat (tdk pernah dikerjakan nabi) yang mereka ajukan itu adalah sebuah illat yg benar untuk penetapan hukum kebid'ahan pada maulidan, tahlilan, haulan?
Naah inilah yang dinamakan an naqdhu (tertinggalnya hukum dari illatnya/hukum tidak ada,tapi illatnya ada).

Bila terjadi seperti ini dan si Wahabi tadi tak bisa melawan dengan beberapa tata cara jawab menjawab dalam bab Annaqdhu ini,maka penetapan hukum yang dilakukan oleh wahabi itu tadi adalah batal,rusak, karena itu tetaplah kita amalkan haulan, tahlilan dan maulidan, jangan hiraukan apa kata Wahabi.

Penulis : Murid Abah Guru Sekumpul
MAHMUD

Jadilah peran dalam suatu perjuangan umat dan jangan hanya jadi penonton, sungguh rugi diakhirnya nanti.