Minggu, 09 April 2017

Makna Ittihad - Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah Ar-Rabbani

makna ittihad sufi-tuangku syaikh muhammad ali hanafiah

Konsep ittihad begitu masif beredar dalam kajian tasawuf dalam Islam. Bahkan, konsep itu dianggap salah satu maqam tertinggi dimana seorang hamba dapat bersatu dengan Tuhan. Padahal, pengalaman seorang sufi karena tenggelam dalam rasa dekat sehingga tidak lagi dapat melihat sesuatu kecuali Allah sebenarnya masih dalam perjalanan untuk suatu tujuan akhir, yakni cinta dan makrifat kepada Allah.

Berikut beberapa penjelasan dari Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah Ar Rabbani tentang hal ini.
Wahai hambaKu ; “Merindulah engkau bersatu dengan sifat-Ku dan janganlah sekali-kali engkau merindu bersatu dengan Zat-Ku, karena sesungguhnya Cinta dan Rindu pun adalah sebuah kesatuan tetapi berbeda dalam wujud, dan genggamlah rasamu dengan kedua tangan-Ku (Al-Qur’an dan Sunnah)”. (Kalam Sirri Tuangku Syekh Muhammad Ali Hanafiah)

Bersatu atau ittihad dengan Allah hanya bisa terjadi jika seorang hamba lebur dalam sifat-Nya, bukan pada zat-Nya. Lebur dalam sifat Allah sebenarnya adalah fana fillaah sehingga yang terpandang olehnya tiada sesuatu yang lain kecuali Allah. Manusia bisa lebur ke dalam sifat Allah karena sejatinya ia adalah tiupan dari sifat Allah itu sendiri. Ini bisa terjadi jika seorang hamba benar-benar telah melepaskan rasa ketergantungannya kepada Allah semata.

Wahai hamba, “Ilmu yang KU-beri hanya untuk mengenalmu, bukan untuk mengenal-KU dalam zat. AKU cukup engkau kenal dalam sifat-KU. Jika engkau temukan jua “AKU” di dalam zat, maka yang engkau ucapkan hanya kemusyrikan yang nyata”.

Seorang hamba mustahil makrifat kepada Allah kecuali Allah yang mengenalkan diri-Nya kepada si hamba. Segala pengetahuan yang diberikan Allah kepada manusia sebenarnya adalah untuk mengenal diri sejatinya. Yakni, seorang hamba yang tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Tuhannya. Jika seorang hamba mengenal diri sejatinya, maka dia telah mengenal sifat Allah di dalam dirinya sendiri. Maka karena itulah, para sufi mengatakan, ‘araftu rabbii bi rabbi, lawlaa rabbii maa ‘araftu rabbii (aku mengenal Tuhanku melalui pertolongan Tuhanku, seandainya bukan Tuhanku [yang mengenalkan diri-Nya] maka aku tidak akan mengenal siapa Tuhanku).

Menurut Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah, ketika seorang sufi masih menggunakan rasa maka wajar bagi dia akan menemukan bentuk apapun yang disentuh oleh tangannya adalah bentuk wujud Tuhannya, tetapi jika ia telah menggunakan nuraninya maka ia akan menyaksikan langsung wajah kekasihnya, sehingga ia sendiri akan melupakan wajah dirinya sendiri. Maka, kemana pun wajah dipalingkan di situlah wajah Sang Kekasih. Karena, apabila seorang sufi telah masuk ke dalam wilayah nurani maka hatinya memiliki pandangan Sang kekasih dan perbuatan Sang kekasih.
Menurut beliau, maqam ‘bersatu’ dengan Tuhan ibarat jalan wajib bagi seorang sufi yang ingin Mencintai Tuhan. Namun, jalan bukanlah tempat menetap melainkan hanyalah sebuah jalan yang mesti dilewati, sehingga ia sampai kepada tujuan sejatinya, yakni Rumah Kekasihnya yang akan menyambutnya dengan Cinta Hakiki. Maka janganlah kita menghina dan menjelekkan para musafir cinta. Biarkan mereka melewati jalan tersebut hingga suatu saat mereka sendiri akan menemukan wajah kekasih yang sebenarnya…

Maqam bersatu yang dimaksud oleh beliau adalah bersatu dalam perasaan, yakni ketika seorang hamba fana fillaah. Bagi seorang hamba yang hendak merengkuh cinta hakiki kepada Allah, maka fana fillaah suatu jalan yang mesti harus di lalui. Cinta sejati atau mahabbatullah mustahil dicapai jika seorang hamba tidak pernah mengalami dalam fana fillaah.

Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah mengingatkan bahwa rasa sebagai wadah untuk fana fillaah bukanlah tujuan para sufi. Rasa hanyalah kuda tunggangan untuk mencapai rumah Sang Kekasih. Apakah mungkin kuda tunggangan akan menjamin kita sampai kepada rumah Sang Kekasih? Bahkan, rasa bisa saja menjatuhkan kita yang menunggangnya. Agar tidak terjatuh dan dapat mengendalikan rasa, maka berpegang eratlah pada tali kekang, yakni Al Qur’an dan Sunnah. Hal ini sesuai dengan Kalam Sirri sebagai berikut:
Hai hamba! “Ingatlah..! Jika ada yang nyata di dalam rasa, itu bukanlah yang sebenarnya. Sebab itu, jangan jadikan rasa sebagai tujuanmu. Wahai insan! Cukuplah AKU sebagai tujuanmu..( Tuangku Syaikh Muhammad Ali Hanafiah Ar-Rabbani ).

Semoga beberapa uraian di atas dapat sedikit menjelaskan konsep ‘ittihad’ yang sebenarnya adalah fanaa fillaah…
Wallahu a’lam

( DR. Zubair Ahmad - Sekjend DUTI - http://dewanulamathariqah.org)

Jadilah peran dalam suatu perjuangan umat dan jangan hanya jadi penonton, sungguh rugi diakhirnya nanti.