Jumat, 22 Desember 2017

Manhaj Ustadz Abdul Somad Tentang DIMANAKAH ALLAH dan Perbedaannya dengan Paham Salafi

dimanakah allah?

POLEMIK TENTANG DI MANA ALLAH ?

(Perbedaan Pandangan Dengan Ustad Abdus Shomad, Antara Dalil Naqli dan Gejolak Logika)

Ustad Abdus Shomad, diantara da’i sejuta ummat yang kita cintai. dikenal dengan sikap moderatnya dalam praktek ibadah fiqhiyyah. namun, pro-kontra seakan tidak luput menyertai sosoknya. salah satunya adalah masalah keberadaan Allah. Ustad Abdus Shomad berpandangan bahwa Allah itu ada tanpa tempat dan Dia ada sebelum tempat itu ada bahkan Allah sudah ada sebelum kata-kata “Ada” itu ada. pandangan tersebut tentunya berangkat dari prinsip Imam-imam Ahlus Sunnah dari kalangan Ahlu Takwil (Asy’ariyyah) yang beliau pegang teguh. semoga Allah menjaga beliau..

Tulisan kami kali ini bukan sekedar tulisan yang mengemukakan sudut pandang yang berbeda dengan tuan guru Al-Ustad Abdus Shomad,Lc.MA. bukan pula dalam rangka “menggurui” seorang alim rabbani yang sehari-harinya memakan debu perjuangan dakwah dan ishlah. karena siapalah diri kami yang kecil ini; kami hanyalah butiran-butiran debu di tengah padang pasir yang terhampar yang merindukan tegaknya khilafah ‘ala manhajin nubuwwah. tetapi kami ingin memberikan satu nilai bahwa perbedaan pandangan adalah sunnatullah yang tidak bisa kita hindari.

Mengapa muncul PERBEDAAN, padahal sumber hukumnya adalah sama (Al-Qur’an & Al-Hadits)?

Jawabannya, munculnya perbedaan pendapat berangkat dari cara pandang yang berbeda. berangkat dari perbedaan daya tangkap terhadap nash-nash Qur'an dan Sunnah. sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. tinggal lagi, bagaimana kita sebagai hamba bisa bersifat merendah di hadapan Allah sebagai makhluq yang jauh dari kesempurnaan.

Bilamana generasi terbaik ummat ini; yang hidup sezaman dengan baginda Nabi dan di didik langsung oleh baginda Nabi dengan wahyu ilahi, mereka bisa BERBEDA PENDAPAT dalam memahami wahyu apalagi kita ummatnya yang hidup di akhir zaman yang jauh dari Rasulullah. Singkat kata, perbedaan adalah FITROH manusia. tinggal bagaimana kelapangan hati kita menerima perbedaan itu sebagai sebuah kenyataan tanpa harus mengeluarkan hujatan, caci maki, merasa diri yang paling benar dan selainnya dianggap salah atau “sesat”. dst. tentunya, perbedaan pun ada yang diterima dan ada yang tidak. Selama perbedaan itu tidak menyentuh ranah ushul yang pokok, maka jadikan ia sebagai wujud rahmah dan ukhuwah. jika ia menyentuh ranah ushul, maka tidak ada toleransi di dalamnya. Hanya satu: Haq atau Bathil. Dalam perbedaan pendapat yang diterima, tidak ada garis pemisah berupa haq dan bathil. sikapilah ia dengan kelapangan hati dan kemuliaan akhlaq.

Kata Imam Syafi’i:

زِيْنَةُ الْعُلَمَاءِ التَّقْوَى وَحِلْيَتُهُمْ حُسْنُ الْخُلُقِ وَجَمَالُهُمْ كَرَمُ النَّفْسِ

“Perhiasan ulama adalah TAQWA, mahkota mereka adalah AKHLAQ MULIA, dan keindahan mereka adalah KEDERMAWANAN”.

DIMANA ALLAH ?
sebuah pertanyaan yang pernah ditanyakan Rasulullah kepada seorang jariyyah (budak wanita). Lalu budak wanita itu menjawab, “Allah ada diatas langit!”. “siapa saya?”, tanya Rasulullah. Budak wanita itu menjawab, “Engkau adalah utusan Allah!”. Lalu budak wanita ini pun di merdekakan.

Riwayat diatas terdapat dalam kitab shahih Bukhari. selaras dengan firman Allah Ta’ala dalam Qur’an surat Thaha ayat 5:

الرحمن على العرش استوى

“Allah yang maha pengasih bersemayam/istiwa’ di atas ‘Asry-Nya !”

Nah, dimana letak PERBEDAAN antara kalangan salafiyyah dengan mazhab asy’ariyyah dalam hal ini? Jawabannya, kedua mazhab ini tidak menolak wahyu Allah diatas. letak bedanya, kalangan Salafiyyah menerima nash wahyu diatas apa adanya tanpa takwil sedangkan mazhab asy’ari menerimanya dengan Takwil. Maka, ada dua metodologi yang ditempuh Ulama dalam hal ini, yaitu Itsbat (menetapkan) dan Takwil (memalingkan maknanya kepada makna lain). tujuannya, MEMAHASUCIKAN ALLAH dari sifat-sifat keserupaan dengan makhluq. Itu intinya.

Baca: Anda yang Mentahdzir Ustadz Abdul Somad, Kesini Sebentar Tuan..!

LALU, bagaimana pandangan kami dalam hal ini?

Kami meyakini bahwa DZAT ALLAH BERSEMAYAM DI ATAS ARSY-NYA, MAHA TINGGI DIATAS SELURUH MAKHLUQ-NYA. IA MAHA KUASA ATAS SEGALA SESUATU DAN TIDAK SERUPA DENGAN SESUATU APAPUN.

lalu muncul pertanyaan yang bersumber dari logika;

1. Jika Allah berada di langit, maka Berarti langit lebih besar dari Allah!?

2. Jika Allah berada di arsy, maka berarti Arsy lebih besar dari Allah.. Lalu apa maknanya “Allahu akbar” (Allah Maha besar) jika begitu?

3. Jika Allah berada di langit atau di arsy, di manakah Allah sebelum menciptakan Langit dan Arsy? Sedangkan Arsy dan langit itu bukan dari zaman azali !?

4. Bagaimana bisa Allah diatas langit, sedangkan Langit dan arsy itu tempat, tempat itu makhluq. sedangkan ALLAH ITU ADA TANPA TEMPAT dan tanpa membutuhkan makhluq!?

5. Jika Allah di yakini ada diatas langit atau di arsy, berarti meyakini bahwa Allah dari ada tanpa tempat menjadi Allah berada di sebuah tempat. Dan hal ini mustahil terjadi. Karena dalam Al-Qur'an di Katakan 'Laitsa kamitslihi syai'un' (Allah tidak sama dengan sesuatu apapun). Sedangkan berpindah dari satu tempat ke tempat lain adalah sifat makhluk, sedangkan Allah mustahil menyerupai sifat makhluk..

Kesimpulannya: ALLAH ITU ADA TANPA TEMPAT ! Tanpa arah ! Tanpa ruang dan waktu ! Bukan di atas langit ! Bukan di atas arsy ! Dan tidak bertempat di mana-mana!
Baik, kami jawab:

1. Anda menyifati Allah dengan ciri-ciri makhluk yang membutuhkan tempat. Andaikan anda bisa melepaskan diri dari gambaran makhluk ketika anda berbicara tentang Sifat-sifat Allah, maka hal itu akan menyelesaikan masalah ini. Jadi begini, ketika anda mengatakan “Kalau Allah begini, berarti begitu”, dst..nah itu anda sedang membayangkan Allah dengan sifat-sifat Makhluq. disinilah anda sudah terjatuh dalam kesalahan. karena harusnya, jika anda meyakini bahwa Dzat Allah maha suci dari kesamaan dengan Makhluq, maka seharusnya anda meyakini bahwa SIFAT ALLAH pun maha suci dari kesamaan dengan makhluq. logikanya, jika sesama makhluq saja berbeda dalam dzat dan sifat apalagi antara makhluq dengan Al-Khaliq (Allah Ta’ala).

2. Allah itu berada di atas ‘Arsy, ber-isitiwa’ maha tinggi, bukan majazi tapi hakiki. Istawa’-Nya Allah itu suci, tidak serupa dengan makhluq. Mengimaninya wajib, membayang-bayangkan bagaimana istawa’-Nya Allah itu salah. Kata Imam Malik:

الإستواء معلوم وكيف مجهول، والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة

“Istiwa’/bersemayam itu adalah sesuatu yang maknanya sudah diketahui, bagaimananya bentuk istawa’ Allah tidak diketahui karena hanya Allah yang tahu, mengimaninya wajib, dan menanyakan bagaimananya adalah bid’ah!”

3. Anda kesulitan mengimani ayat-ayat atau hadits Rasulullah seputar Sifat-sifat Allah, karena: anda memahami posisi Allah seperti anda memahami makhluq-Nya. Kalau sebuah benda turun, pasti dia akan lebih rendah dari benda di atasnya. Ini adalah tabi’at makhluk.

Jadi begini, kalau benda turun-naik, berarti benda itu selalu bolak-balik. Ini juga tabi’at makhluk. Kalau benda ada di atas bumi yang bulat, berarti sisi atasnya bisa ke segala arah. Lagi-lagi ini adalah sifat makhluk. Kalau benda punya letak (misalnya di langit), berarti dia punya tempat dan volume. Lagi-lagi, itu adalah sifat makhluk. jangan dibayngkn Allah begitu..karena Allah tidak begitu dan pasti tidak begitu.

4. Sebagai Muslim, kita tidak akan ditanya, “Allah ada di dalam ruang atau di luar ruang?” “Allah itu bertempat atau tidak bertempat?”

Sebenarnya, bagi kita semua, apakah Allah ada di dalam ruang atau tidak, TIDAK MASALAH. No problem, anything! Kalau Allah menetapkan diri-Nya dalam ruang, ya kita mengimaninya. Kalau Allah tetapkan diri-Nya di luar ruang, kita pun akan mengimani-Nya. Apa yang Allah inginkan tentang diri-Nya dengan segala Sifat-Nya, kita imani. Kita akan mengatakan:

آمنا به كل من عن ربنا

“Kami mengimani-Nya, semua itu dari sisi Rabb kami!”

Jadi dalam hal seperti ini, kit JANGAN IKUT CAMPUR apa-apa yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya. Andaikan Allah berada dalam ruang, dan hal itu yang Dia kehendaki; maka sungguh tidak akan berkurang kesucian-Nya. Andaikan Allah berada di luar ruang, seandainya itu yang Dia inginkan, juga tak akan berkurang kesucian-Nya. SEBAB ALLAH SUDAH SUCI SEJAK SEDIA KALA, TANPA MEMBUTUHKN CARA-CARA KITA UNTUK MENSUCIKAN-NYA.

5. Kalau Allah ber-istawa’ atau bersemayam di atas Arsy; sedangkan Arsy adalah makhluq, berarti Allah membutuhkan tempat dan terbatas dengan ruang atau waktu?

Tidak. Allah beristawa’ diatas Arsy bukan berarti Allah membutuhkan Arsy (membutuhkan makhluq-Nya). Sekarang kami balik bertanya, siapa yang menurunkan hujan? Apakah Allah langsung? tidak kan? Yang menurunkan hujan adalah malaikat padahal Allah sangat mampu untuk sekedar menurunkan hujan tanpa menugaskan Malaikat atau siapapun diantara makhluq-Nya; apakah dengan begitu berarti Allah membutuhkan bantuan malaikat (makhluq) ? Siapa yang mencabut nyawa ? Apakah Allah langsung atau malaikat ? Tentu malaikat yang mencabut nyawa kita, bukan Allah langsung. bukan berarti Allah membutuhkan bantuan makhluq 😊

Intinya, Allah hanya menetapkan bahwa “Diri-Nya bersemayam di atas Arsy.” Artinya, kita tak usah meributkan soal “dalam ruang” atau “di luar ruang”, “bertempat” atau “tidak bertempat”. sebab penjelasan ayat-ayat Allah itu sudah gamblang: Dia berada di atas ‘Arsy. Disini kita tak perlu memikirkan, apakah Allah ada dalam ruang atau tidak. Karena masalah itu tidak disinggung dalam ayat-Nya atau hadits Nabi-Nya.

KAIDAH dasarnya begini, saat berbicara tentang Sifat Allah, disana ada sifat Dzatiyyah (sifat yang terkait dengan diri Allah) dan sifat Fi’liyyah (sifat yang terkait dengan perbuatan Allah).

Kalau bicara soal Dzatiyyah Allah, maka berlaku kaidah: “laisa ka-mitslihi syai’un” (tidak ada yang serupa dengan-Nya sesuatu apapun). Dalam hal ini, jangan sekali-kali memahami Dzat Allah dengan parameter makhluk-Nya; kalau begitu, kita pasti akan tersesat.

Kalau bicara tentang Fi’liyyah Allah, maka berlaku prinsip: “idza arada syai’an an-yaqula lahu kun fa-yakun” (kalau Dia menghendaki sesuatu, Dia tinggal mengatakan ‘jadilah’, maka jadilah hal itu). Simple kan? 

6. dimana kedudukan Allah sebelum menciptakan langit dan Arsy, semua itu adalah keghaiban belaka. Sama ghaibnya dengan bagaimana keadaan Allah beristiwa’ di atas ‘Arsy. Kita tidak dibebani kewajiban untuk menelisik masalah-masalah seperti itu. Akal kita tak akan sampai pada kebenaran hakiki dalam hal seperti ini, kecuali kelak kita bisa tanyakan semua itu kepada Allah Ta’ala di Akhirat nanti (dengan syarat, harus masuk surga dulu). Dalam pertanyaan seperti ini tidak ada penjelasan yang bisa memuaskan akal secara sempurna, kecuali akal orang-orang beriman yang rela mengimani Kitabullah dan As-Sunnah; serta tidak menjadikan akal sebagai hukum dan agama dalam kehidupan ini.

7. Muncul pertanyaan, sebelum menciptakan alam ini Allah ada dimana dan menempati apa?

Jawabnya: KITA TIDAK TAHU, karena Allah tidak memberi tahu. Allah Ta’ala mau berada dimanapun, mau bagaimanapun, itu terserah diri-Nya. Kalau dia mau menempati suatu ruang, mudah bagi-Nya; sebagaimana kalau Dia tak butuh ruang juga mudah bagi-Nya. Kan disini berlaku prinsip besar: “Idza arada syai’an an-yaqula lahu kun fa-yakun” (kalau Dia ingin sesuatu, tinggal bilang ‘jadi’ maka jadilah itu).

Masalah Allah ada di dalam ruang atau tidak, ada dalam tempat atau tidak, itu terserah Dia saja. Dia bisa melakukan apapun yang Dia kehendaki. Apa kita bisa menghalangi kalau Allah melakukan ini dan itu sesuka Diri-Nya? Sejak kapan kita punya kuasa di sisi Allah?

Tidak usah repot-repot membayang-bayangkan, sebab sejak 14 abad yang lalu Allah sudah begitu banyak berbicara kepada kits lewat wahyu-Nya atau lewat sabda Nabi-Nya (yaitu Al-Hadits). Keduanya adalah wahyu yang turun dari langit. Hanya dua sumber inilah yang secara pasti bisa dikatakan valid, otentik, original dan resmi yang berbicara tentang SIFAT-SIFAT ALLAH. Selain kedua sumber itu, sudah bisa dipastikan palsu, salah, dan sesat. Akal manusia tidak akan bisa menjawab lebih jauh tentang Allah, kecuali hanya sampai batas kesimpulan awal, yakni bahwa Allah itu ada, eksist, wujud, dan melazimi sifat-sifat yang ia tetapkan atas diri-Nya. Selebihnya, akal kita punya banyak kelemahan untuk mendeskripsikan ‘anatomi’ Allah Ta’ala sebagai Tuhan.

Nah kesimpulan kami dalam hal ini adalah, Allah itu istawa’ (bersemayam) di atas Arsy. Itu yang mengatakan Allah sendiri dalam Al-Qur'an. apakah Allah itu duduk, menempel, mengambang, atau bersila; ALLAHU A'LAM HANYA ALLAH YANG TAHU. DAN ALLAH TIDAK SERUPA DENGAN SESUATU APAPUN. Kata Allah:

ولم يكن له كفوا احد

“Tidak ada sesuatu apapun yang sama atau setara dengan-Nya!”

Yang jelas Allah beristawa’ di atas Arsy. Sebagaimana kata Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam:

لَمَّا فَرَغَ اللهُ مِنْ خَلْقِهِ اسْتَوَى عَلَى عَرْشِهِ.

“Ketika Allah selesai mencipta, Dia berada di atas ‘Arsy-Nya/singgasana-Nya.”

Sedangkan lafazh istawa ‘ala (اِسْتَوَى عَلَى) dalam bahasa Arab berarti (عَلاَ وَارْتَفَعَ), yaitu berada di atas (tinggi/di ketinggian). Hal ini adalah kesepakatan salaf dan ahli bahasa. Tidak ada yang memahaminya dengan arti lain di kalangan salaf dan ahli bahasa.

Adapun ‘Arsy, secara bahasa artinya Singgasana kekuasaan. ‘Arsy adalah makhluq tertinggi. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ

“Maka jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Al-Firdaus, karena sungguh ia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi. Di atasnya singgasana Sang Maha Pengasih, dan darinya sungai-sungai surga mengalir.”
(HR. Imam Al-Bukhari)

KITA KITA MEYAKINI ALLAH ITU ADA TANPA TEMPAT, tanpa arah, tanpa ruang dan waktu, bukan di langit, bukan di arsy, Itu artinya: ALLAH ITU TIDAK ADA. Karena mustahil ada dzat tanpa ada sifat !! Meniadakan sifat Allah berarti hendak meniadakan Allah.

Kata Imam Malik:

الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء

“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”

Imam Ahmad Bin Hanbal pernah ditanya:

“Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?”

Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”

Ada yang bertanya lagi:

Lalu bagaimana dengan ayat Allah dalam Al-Qur’an yang berbunyi ‘Wa-huwa Ma’akum aynama kuntum’ (dan Allah bersama kamu dimana saja kamu berada) !??

Imam Ahmad menjawab:

علمه عالم الغيب والشهادة علمه محيط بكل شيء شاهد علام الغيوب يعلم الغيب ربنا على العرش

“Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ILMU ALLAH. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya.”
-selesai-

Kata ma’a (مع) yang artinya “bersama” tidak berarti menunjukkan tempat seseorang berada. Sebab dalam percakapan kita bisa mengatakan bahwa aku menyertaimu atau aku bersamamu, meski pada kenyataannya tidak berduaan. Sebab kebersamaan Allah dalam ayat ini (yaitu ayat “dan Allah bersama kamu dimanapun kamu berada”) adalah berbentuk muraqabah atau pengawasan, seperti ketika Rasulullah berkata kepada Abu Bakar saat di dalam gua: “Laa Tahzan Innallah Ma’ana” (Janganlah kamu bersedih, karena sesungguhnya Allah bersama kita); ini bukan berarti Allah ikut masuk dalam gua bersama Rasulullah dan Abu Bakar. Juga ketika Nabi Musa di laut merah berkata, “Bersamaku tuhanku”, tidak berarti maksudnya Allah berada di pinggir laut merah saat itu.

KESIMPULANNYA begini, kami meyakini bahwa ALLAH BERSEMAYAM DI ATAS ARSY-NYA. Namun disana tidak sedikit ulama ummat ini yang berpendapat bahwa ISTAWA’ (bersemayam) itu di takwil menjadi ISTAWLA (menguasai). diantaranya Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam Suyuthi, dll. rahimahumullahu jami’an. dan ini merupakan kekeliruan ijtihad/metode ketika menangkap ayat-ayat mutasyabihat. 

Bagi kami, perpedaan cara menangkap ayat-ayat mutasyabihat bukanlah sesuatu perkara yang ‘ma’lumun bid dhoruroh’, tetapi ia masuk kategori debatable. semua imam-imam itu wajib kita hormati karena mereka adalah para mujtahid, sedangkan kita adalah muqallid. selama kita meyakini adanya Allah dan menyembah-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dalam segala bentuk peribadatan, dan kita ibadahi Dia sesuai dengan perintah-Nya dan selaras dengan cara yang di tuntunkan Rasul-Nya, maka ikhtilaf dalam hal ini lebih layak kita jadikan sebagai satu wawasan keislaman dan khazanah intelektual.

Sebab jika kita telaah lebih dalam, sepanjang sejarah tidak pernah kita dapati ada suatu peradaban yang 100% tidak mengakui eksistensi tuhan/keberadaan Allah. Bahkan Abu Jahal dan Abu Lahab yang kafir pun meyakini ADANYA ALLAH. sehingga tugas Rasulullah sebenarnya bukanlah membuktikan wujud (keberadaan) Allah, tetapi memperkenalkan sosok, jati diri, serta ‘anatomi’ tentang Allah dan apa saja perintah-perintah, kehendak, dan keinginan yang datang dari Allah. 

Singkat kata, bukan hanya Allah itu ada (Ar-Rububiyyah) dan bagaimana sifat-sifat Nya (As-Shifaat) yang menjadi prinsip agama ini, tetapi lebih kepada apa maunya Allah pada diri kita; itulah AT-TAUHID AL-ULUHIYYAH (Menjadikan-Nya satu-satunya Dzat yang maha tunggal yang di ibadahi secara benar tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun). sebab itulah Allah mengutus para Nabi dan Rasul guna menyeru manusia kepada Tauhid Uluhiyyah Wal Hakimiyyyah yang murni, yaitu menjadikannya tempat bergantung dalam segala hal dan hanya patuh tunduk dengan hukum dan undang-undang yang di tetapkannya.

Allahul Musta’an.

Oleh: Maaher At-Thuwailibi ( Ustadz Salafi Moderat )


Jadilah peran dalam suatu perjuangan umat dan jangan hanya jadi penonton, sungguh rugi diakhirnya nanti.

3 comments

Ada kesamaan dg mahlukNYA tapi harus (dipaksa) dianggap tidak sama?

QS ALMULK : 16 /17 : ..YANG dilangit ..(MAN fissama' BUKAN ma FISSAMA')
QS ALMA'ARIJ:3: MALAIKAT & RUH NAIK KEPADANYA ...
ya imani tentang Zat ALLAH HANYA DENGAN QURAN & HADITS/ATSAR BUKANDGN PIKIRAN ORANG, (LIHAT aqidah salaf (aSHABUL HADITS-NYA IMAM ASHABUNI GURUNYA IMAM BAIHAQI = AQIDAH WAHHABI)

wong gak pernah liat allah sok ngomong pake kesimpulan sendiri yang TAK ADA SATU HADITSPUN YG KATAKAN BEGITU KAYAK ISTIWA DIKATAI BERKUASA (PADAHAL TAK ADA SATU HADITSPUN YG KATAI BERKUASA) YGADA YA HADITSNYA SYIAHMUNFIQ (KAFIRBERBAJU ISLAM)

JUGA HINDU : WEDA : HYANG WIDI / TUHAN TAKBERWUJUD, TAK BERTANGAN (NIRUPAM) ... dia ada dimana-2

Beda dgn *ALLAH (QS.67:39)

*ALLAH BISA KEMANA SAJA* ( Jika KEHENDAKI)
*BUKAN DIMANA-2*
kayak *LOGOS / Ilmu* (Pengetahuan) - Yunani; *yang TAK BERWUJUD & ADA DIMANA-2*

Beda ALLAH : ... *YANG Di Langit (MAN* fissama-i , buka ma..). (QS 68.AlMulk: 17)

... Malaikat & Ruh *NAIK Kepada-NYA* .." (QS ALMa'arij : 3,4)

Aqidah Imam Syafi'i : *ALLAH DIATAS ARASY & DEKAT*, *DIHADAPAN ORANG YG SHALAT* ( Dengan CARA-NYA Yg BEDA dgn Selain-NYA)

( HR BUKHARI *Janganlah Meludah ke depan IA SEDANG BERDEPAN DENGAN RABB, ... Rabbnya berada antara dia & arah kiblatnya*
Jangan Kekanan ada Malaikat, *(LUDAHLAH KEKIRI)*
(Lihat HR. Bukhari: 400 / no 417 versi Kitab Fathul Bari ibnu Hajar Asy-Syafi'iyah) - http://hadits.in/bukhari/400

Maknya jangn memut7skan sesuatau hnya lewat terjemahan maka bginikah jadinya
Contoh..surga itu berada di bawah telapak kaki ibu
Apakah dgn membelah telapak kaki ibu lalu anda mnemukan surga?? Saya lebih setuju trhadap apa yg di jelaskan oleh ustz abdussomad.